Meskipuntidak ada kata wajib, hanya saja dalam panduan yang dibuat sekolah itu tak memberi pilihan lain pada siswi muslim tak menggunakan jilbab. "Pilihannya tak memakai jilbab hanya untuk siswi nonmuslim, jadi memang tak ada pilihan bagi siswi muslim tak berjilbab," kata dia. Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Jakarta – Sebagian besar provinsi dan puluhan kota serta kabupaten di Indonesia memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif dan keras terhadap para perempuan dan anak perempuan, kata Human Rights Watch hari ini. Dampak dari peraturan-peraturan ini terlihat dalam keterangan sejumlah perempuan – sebagai siswi, guru, dokter, dan lainnya – yang dikumpulkan berikut ini. Kementerian Dalam Negeri, yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah daerah, seharusnya membatalkan berbagai aturan daerah tersebut, jumlahnya lebih dari 60, yang berlaku di seluruh negeri. Memang pemerintah pusat tak memiliki kewenangan hukum untuk mencabut legislasi daerah, seperti peraturan daerah Aceh soal “busana Muslim” tahun 2004, yang diilhami Syariat Islam. Namun hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif di tingkat lokal, dari gubernur, walikota sampai bupati, yang bertentangan dengan hukum-hukum nasional dan konstitusi. “Presiden Joko Widodo seharusnya segera membatalkan berbagai peraturan diskriminatif di tingkat daerah yang melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch. “Peraturan-peraturan tersebut sungguh berbahaya dan praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.” Sejumlah pemerintah daerah menerbitkan peraturan wajib jilbab, sebagai perintah eksekutif, mulai tahun 2001 di tiga kabupaten – Indramayu dan Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Tanah Datar di Sumatra Barat. Peraturan daerah yang mengekang itu muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, mendorong jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab - penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang. Para pejabat yang mengeluarkan peraturan tersebut berpendapat jilbab “wajib bagi Muslimah” untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap mencakup rambut, lengan, dan kaki, kadang juga lekuk tubuh. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi aturan. Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami pelecehan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan tersebut dan memasukkan semua itu sebagai lampiran sebuah laporan yang terbit pada 2021. Pejabat Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman bikin keputusan serupa, termasuk yang paling terakhir, pada Agustus 2021. Laporan Human Rights Watch tahun 2021 mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka pakai jilbab, serta tekanan kejiwaan mendalam yang dapat ditimbulkan. Setidaknya pada 24 dari total 34 provinsi di tanah air, sejumlah anak perempuan yang memilih kemerdekaan dalam berpakaian, terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara sejumlah pegawai negeri perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri. Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Dalam dua kasus terpisah, Human Rights Watch mendokumentasikan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook. Dari sejumlah wawancara, Human Rights Watch juga mempelajari berbagai intimidasi dan ancaman wajib jilbab, disampaikan lewat aplikasi WhatsApp. Zubaidah Djohar, seorang penyair, sekaligus alumnus sebuah madrasah di Padang Panjang, Sumatra Barat, menerima ancaman pembunuhan - “dibacok” dan “diracun”- setelah terlibat debat soal jilbab dengan Gusrizal Gazahar, ketua umum Majelis Ulama Indonesia di Sumatra Barat, pada 28 Februari 2021. Rekannya Deni Rahayu juga menerima ancaman pembunuhan, diduga banyak dari anggota grup Facebook alumni madrasah tersebut. Keduanya melaporkan ancaman kepada kepolisian, namun belum ada tanda-tanda bahwa kepolisian telah melakukan penyelidikan berarti atas pengaduan tersebut. Mereka juga melaporkan berbagai ancaman tersebut ke Facebook tapi tak dapat tanggapan. Human Rights Watch kemudian mengirim dokumentasi lengkap tentang perundungan dan intimidasi itu ke Facebook pada April 2021. Facebook menanggapi pada Agustus 2021 dengan mengatakan bahwa pihaknya, “reported the speech to one of escalation channels,” tapi tak informasi apa hasilnya. Pada April 2022, setelah beberapa permintaan soal perkembangan terkini dari Human Rights Watch, seorang staf Facebook di Singapura menawarkan diri bertemu dengan Zubaidah, saat dia liburan Lebaran di Jakarta. Zubaidah enggan menjawab. Facebook belum menyampaikan apa yang perusahaan tersebut lakukan dengan ancaman itu. Hampir sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab. Pada 2012 dan 2014, Gerakan Pramuka yang wajib diikuti oleh anak sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “murid Muslimah” dari kelas 1 hingga 12, yang jelas bertentangan dengan peraturan menteri tahun 1991 yang mengizinkan sekolah untuk membiarkan pelajar perempuan memilih “atribut khusus” mereka. Peraturan Gerakan Pramuka dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tingkat nasional ini memperkuat dan menegakkan keputusan di daerah. Sekolah biasanya mewajibkan para pelajar untuk memakai seragam Pramuka seminggu sekali. Pada Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mengubah Peraturan Menteri Pendidikan 45/2014 tentang pakaian seragam sekolah bagi siswa dari kelas 1 hingga 12. Surat keputusan mereka menetapkan bahwa para siswa perempuan bebas memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Menurut Makarim, peraturan 2014 sering digunakan untuk merundung para siswi dan guru. Namun pada Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan peraturan tersebut. Mahkamah Agung secara efektif memutuskan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka sendiri di sekolah negeri. Putusan Mahkamah Agung itu mengakhiri upaya pemerintah untuk memberikan kebebasan kepada para anak perempuan dan guru dalam memilih apa yang mereka kenakan. Lebih dari 800 tokoh masyarakat menandatangani sebuah petisi yang mengecam putusan Mahkamah Agung dan minta Komisi Yudisial agar mempelajari putusan tersebut, serta menyatakan bahwa aturan wajib jilbab inkonstitusional dan diskriminatif. Pada Juni 2021, Komisi Yudisial menolak permohonan tersebut karena alasan teknis. Hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas menjalankan agama dan keyakinan seseorang, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan dewasa dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki dan anak laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan yang dikenakan terhadap pemenuhan hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif. Segenap pelindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, lalu Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia telah meratifikasi semua perjanjian internasional tersebut. Aturan wajib jilbab juga melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk bebas “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28i UUD 1945. Pada tahun 2006, Asma Jahangir, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan paksaan dan penerapan sanksi pada individu yang tidak mau mengenakan busana agamis atau simbol tertentu yang dilihat sebagai kewajiban oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang secara khusus tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.” “Pemerintah Indonesia seharusnya segera mengambil tindakan guna mengakhiri perundungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat biasa yang berani membahas masalah jilbab secara terbuka dan menyuarakan keprihatinan bahwa peraturan-peraturan daerah ini melanggar hak asasi manusia,” kata Pearson. “Pemerintah seharusnya menyelidiki setiap insiden tersebut dan meminta pertanggungjawaban dari para pihak yang bertanggungjawab sehingga setiap perempuan dewasa dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan.” Cerita Beberapa Perempuan Indonesia Human Rights Watch wawancara beberapa perempuan tentang perjuangan mereka melawan peraturan wajib jilbab di Indonesia. Para perempuan itu menuliskan cerita mereka, yang lantas disunting seperlunya agar mudah dipahami, dan diterbitkan dengan persetujuan akhir mereka. Anggun Purnawati, seorang pemandu wisata di Kebumen, Jawa Tengah, juga penganut agama Kejawen Maneges – sebuah agama lokal di Pulau Jawa Kami sekeluarga penganut Kejawen Maneges, termasuk anak perempuan saya, Gendhis Aurora, umur 7 tahun, kelas 2 SD Negeri di desa Waluya, Kebumen. Kami percaya bahwa perempuan Maneges tak perlu pakai jilbab. Di sekolah, Gendhis jadi sorotan. Peraturan seragam sekolah mewajibkan jilbab, baju lengan panjang dan bawahan panjang. Tak ada pilihan. Gendhis tak mau pakai jilbab, selain alasan keyakinan, juga kesehatan. Gendhis sering dapat ejekan bahkan cibiran dari teman-teman sekolah. Dia sering ditakut-takuti “bakal masuk neraka” dan “disiksa karena tak berhijab.” Beberapa guru juga sering menyuruhnya maju ke depan kelas, untuk dicecar tentang alasannya tak pakai jilbab. Kami juga sering dipersoalkan karena tak mengaji dan ikut ibadah lain dalam agama mayoritas Islam. Widiya Hastuti, usia 24 tahun, mahasiswi Universitas Sumatra Utara, Medan, asal Bener Meriah, Aceh Sejak saya masih kecil di Aceh, saya diberitahu bahwa perempuan harus menutupi aurat mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saya tidak sepatuh itu. Saya kadang-kadang melepas jilbab dan memakai celana pendek ketika saya pergi ke luar rumah. Jaraknya dekat. Saya takut polisi Syariah akan menangkap saya kalau saya pergi terlalu jauh. Akibatnya, orang tua saya jadi bahan gosip. Beberapa sepupu saya menyebut saya preman. Orang tua saya sering memperingatkan saya, bukan karena mereka ingin saya memakai jilbab, tetapi karena mereka tidak tahan dengan gosip. Tahun 2016, saya pindah ke Medan, Sumatra Utara, untuk kuliah. Saya merasa lebih bebas untuk berekspresi, memakai apa yang ingin saya pakai. Ibu saya tidak pernah protes. Tapi banyak orang yang penasaran. Mereka bertanya "Mengapa kamu, seorang gadis Aceh, tidak memakai jilbab?" Atau, "Kalau pulang ke Aceh tidak pakai hijab?" Jawabannya, ketika saya kembali ke Aceh, saya tidak berani melepas jilbab saya. Masyarakat Aceh sekarang semakin menghakimi. Siti Rokhani, dosen bidang kesehatan masyarakat, Way Jepara, Lampung Ini berawal dari Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah MPLS di SMAN 1 Lampung Timur. Putri saya mengenakan seragam sekolah lengkap dengan atributnya, tanpa jilbab. Panitia MPLS bertanya, "Agamamu apa?" Putri saya menjawab, "Islam." Panitia menyampaikan bahwa siswi Muslim wajib pakai jilbab. Esoknya putri saya tetap tak mengenakan jilbab. Bullying pun dimulai. Dibilang tidak bermoral, dicemooh, dipandang dengan tatapan hina dan diberi kalimat-kalimat dari Hadits yang mereka yakini, yang begitu jauh dari apa yang kami yakini di keluarga. Tiap pulang sekolah anak saya menangis histeris, minta keluar dari sekolah, tidak kuat dengan bullying. Ketika anak saya menjadi kurang percaya diri, merasa tertekan dan haknya terbelenggu, saya sebagai orang tua melakukan penguatan. Saya menemui guru kesiswaan dan panitia MPLS, guna memastikan aturan seragam sekolah, berdasarkan aturan yang berlaku. Kesimpulannya, sekolah negeri tidak ada aturan yang mewajibkan siswi Muslim berjilbab. Praktik wajib jilbab terjadi sebagai “imbauan” dari guru agama Islam sehingga menjadi kebiasaan. Mereka sepakat tak ada lagi teguran maupun bullying pada siswi yang tidak berjilbab. Dina Fitriya, guru sekolah negeri, asal Desa Caracas, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat Kedua orang tua saya adalah guru. Ibu saya, Ipah Maripah, guru SD Negeri 1 Caracas. Bapak saya, Zubaedi Djawahir, guru Madrasah Aliyah milik Persatuan Ummat Islam Cilimus. Bapak juga menjabat sebagai ketua PUI serta sebagai sekretaris panitia pembangunan masjid Caracas dan Cilimus. Pada 2000, Bapak, keluarga dan pengikutnya dipanggil puluhan tokoh agama Islam di Hotel Ayong Linggajati. Ada lebih dari 100 orang datang ke sana. Mereka berpendapat pandangan-pandangan keislaman Bapak tak sama dengan pandangan mereka. Undangannya dialog, tapi yang terjadi seolah Bapak diadili dengan simpulan sesat. Buntutnya, Majelis Ulama Indonesia bikin fatwa sesat. Bapak tidak diterima berceramah di masjid mana pun di Kuningan. Namun Bapak tak berhenti, bahkan pengikutnya semakin banyak. Ketegangan dengan MUI cabang Kuningan juga naik. Pada 20 Januari 2010, rumah kediaman Bapak diserang dan dirusak oleh segerombolan orang bermotor. Mereka berteriak takbir sambil menyerang rumah Bapak saya. Mereka melempari rumah dengan batu, teriak, "Usir orang sesat." Rumah disegel oleh pemerintah Kuningan. Kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Jakarta kecuali saya. Saat saya ambil barang-barang, untuk pindah ke rumah kontrakan di wilayah lain di Kuningan, saya diintimidasi, dimulai dari penaburan paku di jalan agar truk yang membawa barang tidak bisa lewat dan jalan dihalangi pohon tumbang. Pada Februari 2010, Majelis Ulama Indonesia di Kabupaten Kuningan mengeluarkan fatwa bahwa Bapak dan pengajiannya, Millah Ibrahim, “sesat.” Bapak tak juga mundur. Pada 2011, Bapak perlahan-lahan mulai bicara soal jilbab bukan kewajiban, mula-mula kepada anggota keluarganya, termasuk anak-anaknya, dan diumumkan ke publik pada 2019. Tekanan dan intimidasi terhadap kami makin besar. Saya sendiri mulai pakai jilbab pada 1991 ketika kelas lima. Pada 2011, saya memutuskan tidak berjilbab ke mana-mana kecuali bekerja di sekolah -semua ID card saya pakai foto berjilbab. Saya melepas jilbab karena klarifikasi Bapak bahwa jilbab hanya sekadar budaya. Bukan syariat. Saya juga tak mau menjadi bagian dari orang-orang yang kampanye jilbabisasi. Pada 2013, Bapak pindah dari Jakarta ke Cirebon, kota besar dekat Kuningan. Tapi insiden-insiden lain masih terjadi pada keluarga kami dan pengikut Bapak saya. Nisa Alwis, penulis buku Puber Beragama di Negeriku, pengasuh sebuah pondok pesantren di Pandeglang, Banten Saya berjilbab sejak lulus SD dan masuk pesantren pada 1986. Jilbab itu terus melekat hingga kuliah S1 dan S2 tamat. Kami biasa diskusi terbuka, juga soal filsafat, di Flinders University, Australia, tapi jilbab tidak terpikir untuk ditanggalkan. Kode etik, yang dua dekade ditanamkan, jadi mengikat. Jilbab diposisikan no debate. Di lingkungan sosial terbangun bahwa jilbab itu bagus, ayo semua berjilbab, yang sudah berjilbab jika melepasnya kurang bagus. Namun saya tak berpikir inilah hidayah, yang tidak berjilbab level imannya lebih rendah. Tapi untuk melepasnya tetap tidak bisa. Sampai ketika friksi politik agama meninggi di Jakarta. Nurani dibuat muak dengan sikap kelompok "pembela agama" tetapi sikap dan perilaku mereka sulit diterima logika. Betapa nilai-nilai etika di negeri ini sudah bergeser seiring bombastisnya jargon agama. Laju fanatisme nyaris tak ada penahan, dan jilbabisasi adalah gerbang dari simbolisme agama ini. Perempuan seperti saya, maupun anak saya, jadi menanggung risiko dan beban untuk sebuah identitas primordial yang tak berujung pangkal. Jika sekadar berpakaian saja sudah didikte, bagaimana perempuan bisa merdeka dengan pilihan hidup lainnya? Perempuan jika dilemahkan, sebangsa senegara kena imbasnya. Saya akhirnya membuka jilbab perlahan sekali, seperti tahapan terapi. Dengan beralih pada selendang dan kain kebaya atau dress biasa untuk me-recall ingatan era 1980an. Debat saya layani, dicemooh saya sabar. Dukungan perlu dikondisikan dari keluarga inti maupun lingkaran teman. Kami lakukan ini, berharap lebih banyak orang tersadar; fanatisme agama ada beragam bentuk juga lapisan dan dengan wajib jilbab sesungguhnya kita terpapar. Hukum aurat dan jilbab adalah tafsiran ulama dan itu bisa relatif dari masa ke masa. Tinjauan Ushul Fikih mengenai jilbab pun sesungguhnya fleksibel "Segala sesuatu itu boleh. Kecuali ada dalil yg melarangnya.” Tak satu pun ayat Al-Qur'an menyatakan rambut adalah aib atau jilbab itu wajib. Pakaian hanyalah bungkus, tampilan, bukan esensi. Ratusan tahun ulama kita tak melarang masyarakat menari, berkesenian, mengenakan berbagai ornamen keindahan, hingga khazanah itu sampai di era kita. Lalu kini orang-orang dipaksa berubah dan meninggalkannya? Jangan sampai kita jadi bangsa yang linglung karena tercerabut dari akar budayanya. Sheilana Nugraha, 25 tahun, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Sejak SD kelas 4 saya dipaksa pakai jilbab oleh ibu tiri saya. Suasana di rumah tidak baik, saya sering ditinggal ayah, dianggapnya baik saja. Realitasnya parah. Saya masuk SMAN 2 Sragen pada 2012, diminta pakai jilbab di sekolah. Pada 2013, saya ditabrak seorang ibu naik motor sampai semaput. Saya ingin tinggal dengan mama di Sragen, dekat SMAN 2. Mama saya Kristen. Papa saya Muslim. Saya lepas jilbab dan baju seragam juga pendek, walau mama masih antar saya ikut pengajian. Saya satu-satunya murid Muslim yang tidak pakai jilbab di sekolah. Ada siswi Kristen, jumlahnya kecil tak sampai 10 orang di sekolah, tak pakai jilbab semua. Saya dihampiri guru sejarah, perempuan pakai jilbab, juga tetangga saya. Dia memarahi, menunjuk-nunjuk saya, dibilang “tidak akan sukses tanpa jilbab dan akan masuk neraka.” Saya menangis, dipermalukan, disaksikan banyak murid, di depan kelas dekat whiteboard dan pintu kelas. Malu, nangis saya, tertekan batin. Berhari-hari begitu, berturut-turut, ada tiga guru perempuan biologi, matematika, bahasa Prancis plus guru agama Islam lelaki, ikut merundung. Guru agama Islam tak bikin saya menangis tapi menyindir. Guru matematika juga wali kelas saya. Nilai saya dibikin jeblok. Kepala sekolah diam saja. Pada 2014, guru sejarah memarahi saya lagi, saya menunduk sambil nangis. Dia memukul kepala saya di sekolah. Guru biologi bikin jeblok nilai saya di rapor. Dia sering tak bahas soal kimia di kelas, tapi soal jilbab saya. Saya lulus pada 2015 dan diterima di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Pada 2020, saya diminta mengumpulkan foto buat ijazah S1. Seorang petugas administrasi fakultas mengirim pesan dan bilang foto saya tak pakai jilbab. “Ini mau ditempel di ijazah lho? Kok mbak nggak pakai jilbab?” kata petugas. Dia bilang semua teman saya pakai jilbab. Dia minta saya memikirkan lagi, dikasih waktu seminggu. Ada desakan agar saya pakai foto berjilbab lewat WhatsApp. Tapi saya tolak. Ruhadie Bae, seorang pengusaha kecil, Cirebon Saya sekeluarga adalah penganut agama Islam. Putri pertama saya, Keyla Aleyda Nirvana Putri, sekolah di SMUN 1 Babakan Cirebon. Putri kedua, Cleonara Aura Nareswari, sekolah di SMPN 1 Babakan Cirebon. Kami memahami tak ada secuil perintah dalam Al-Qur'an soal wajib jilbab. Saya belajar dari Bapak Zubaedi Djawahir pada 2016 bahwa Qur’an justru kita diarahkan untuk lebih dekat dengan pakaian dan budaya lokal. Kami sekeluarga tak mau berdusta pada prinsip ini. Namun di sekolah, putri-putri saya ditekan agar pakai jilbab. Kami percaya seorang Muslim di Jawa harus dekat dengan kebaya. Tuhan menciptakan keberagaman. Tuhan mengajarkan kita untuk mencintai negeri sendiri, budaya sendiri. Putri-putri saya selalu dapat bully dari guru-guru atau teman-temannya. “Hey, kamu Kristen ya? Kok jilbabnya nggak dipakai ya? Kalau pelajaran agama jilbabnya dipakai ya?” Tapi kami diam saja. Saya datang ke sekolah dan beritahu ke wali kelas masing-masing. Kedua sekolah memberikan kebebasan. Wali kelas sangat support. Tapi ada saja guru lain intimidasi secara halus. Dan bully dari teman selalu ada. Syukur, putri-putri saya pandai bergaul. Sahabatnya banyak. Jadi ada teman-temannya ikut ngebela. Henny Supolo Sitepu, Ketua Yayasan Cahaya Guru, Jakarta Yayasan Cahaya Guru sering memberikan pelatihan pengelolaan kelas untuk sekolah-sekolah negeri. Sejak 2007, saya mulai sering dapat keluhan guru-guru perempuan mengenai “kewajiban berjilbab.” Tak ada aturan tertulis. Para guru menerima tekanan berat karena jilbab dikaitkan dengan moral. Tidak mengenakan jilbab dianggap tidak Islami, bukan contoh yang baik untuk para murid. Dua kasus yang saya ingat. Seorang guru dianggap menggoda kepala sekolah karena tak pakai jilbab, serta satu guru [di sekolah lain] tak diberi jatah seragam sekolah. Tapi, keluhan disampaikan dengan berbisik. Dan ada syarat saya tidak boleh membukanya pada umum. Ketakutan terasa sekali. Berbagai peraturan daerah menulis kewajiban berjilbab disertai sanksi. Sekolah menyerap apa yang terjadi di masyarakat tanpa sikap kritis. Ia memperlihatkan kecenderungan umum saat busana dikaitkan dengan agama seakan tabu mempertanyakan. Kelambanan Polisi dan Media Sosial Menyikapi Intimidasi dan Ancaman Terkait Jilbab Sebagian besar perempuan dan anak perempuan di Indonesia yang kami wawancarai tak melaporkan perundungan atau intimidasi yang mereka alami tapi berusaha menanganinya sendiri. Beberapa dari mereka menyalahkan diri sendiri, dan bilang bahwa mereka percaya mereka belum siap, belum cukup Islami, menggunakan ungkapan “Belum menerima hidayah.” Tapi beberapa dari mereka melaporkan pelecehan itu ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pihak kepolisian. Beberapa pria menyerang Ade Armando, seorang pembawa acara Cokro TV, yang telah menyiarkan laporan tentang kewajiban berjilbab bagi perempuan dan anak perempuan, ketika dia menghadiri sebuah demonstrasi di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 April 2022. Polisi menangkap enam pria, termasuk Arif Pandiani, yang diduga “provokasi massa” untuk menyerang Ade. Pandiani kemudian membuat video yang berisi klaim bahwa Ade telah meninggal dunia. Ade mengalami cedera otak, mengakibatkan pendarahan, dan dirawat di rumah sakit selama lima minggu, sementara keluarganya pindah sementara dari rumah mereka di Depok, demi keselamatan. Para pria penyerang itu kini sedang menunggu persidangan. Karna Wijaya, seorang profesor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kemudian mengunggah sebuah komentar di Facebook yang menyerukan agar Ade Armando dan rekan-rekan TV-nya, termasuk Nong Darol Mahmada dan suaminya Guntur Romli, “disembelih.” Romli melaporkan Wijaya ke Polda Metro Jaya atas tuduhan ujaran kebencian dan kekerasan. Polisi membenarkan telah menerima laporan Romli, namun belum memanggil Wijaya untuk diperiksa. Kata Zubaidah, dia melaporkan berbagai komentar kasar di laman Facebook miliknya ke Mabes Polri di Jakarta pada Maret 2021. Di Facebook, Deni Rahayu mengunggah foto kunjungannya ke kantor Mabes Polri. Dia mengatakan polisi tak menindaklanjuti penyelidikan, tapi foto pengaduan setidaknya bisa menghentikan berbagai komentar kasar dari orang-orang di laman Facebook mereka. Peraturan soal Jilbab di beberapa tempat Lain di Indonesia Isu hijab dan pakaian perempuan telah memicu perdebatan global di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, maupun di negara-negara di mana warga Muslim merupakan populasi minoritas dengan jumlah cukup besar. Sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim. Bali mayoritas Hindu Dharma, empat provinsi lain sebagian besar penduduknya beragama Kristen, dan lima provinsi lainnya seimbang, hampir 50-50 antara penduduk Muslim dan Kristen. Di Indonesia, aturan wajib jilbab muncul setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998. Banyak kelompok Muslim konservatif menganjurkan aturan wajib jilbab di Indonesia, mulai dari provinsi-provinsi konservatif seperti Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Aceh. Mereka menggunakan dorongan otonomi daerah pasca-Soeharto untuk mendapat dukungan politik. Saiful Mujani, seorang dosen di Universitas Islam Negeri Jakarta, menulis, “Busana mahasiswi Muslimah seperti ini di tanah air adalah gejala umum sebelum tahun 1980an. Banyak pihak yang menyatakan bahwa berhijab dan bahkan bercadar merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Apakah sebelum tahun 1980an ayat-ayat terkait hijab dan cadar itu belum masuk Indonesia?” Saiful menulis di laman Facebook pada Februari 2022, bahwa, “Yang paling mungkin adalah tafsiran baru atas ayat-ayat itu muncul setelah Revolusi Iran atau lebih belakangan karena pengaruh mode Arab yang semakin kuat di tanah air.” Saiful melanjutkan, “Apapun alasannya, wajib atau tidak wajib berjilbab adalah soal tafsir manusiawi belaka … dan semuanya terbuka untuk salah. Karena itu seharusnya tidak boleh ada institusi publik seperti kantor pemerintah, sekolah atau madrasah negeri, universitas negeri sekalipun universitas Islam negeri misalnya, yang mewajibkan berjilbab. Mau berjilbab atau tidak diserahkan pada pilihan subyektif muslimah masing-masing.” Pada Februari 2021, setelah aduan dari ayah seorang siswi SMKN2 Padang, yang beragama Kristen namun dipaksa berjilbab, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang membolehkan tiap pelajar perempuan atau guru perempuan untuk memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak di sekolah. Namun, pada 3 Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan SKB Tiga Menteri setelah ada uji materi yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau di Padang. Majelis hakim beranggotakan tiga laki-laki – Irfan Fachruddin, Is Sudaryono, dan H. Yulius – memutuskan bahwa SKB Tiga Menteri tersebut melanggar empat undang-undang dan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tak memiliki hak untuk memilih pakaian seragam mereka. Beberapa cendekiawan Muslim di Indonesia yang berpendapat bahwa jilbab seharusnya tidak diwajibkan, apalagi dirundung dan dipaksa dengan sanksi bahkan kekerasan. Pada Januari 2022, Nisa Alwis, seorang cendekiawan yang turut mengelola pesantren keluarganya di Pandeglang, Banten, menulis di Facebook, “Di antara hoax terbesar abad ini adalah ajaran bahwa terlihat rambut itu tidak sopan, bahwa rambut wanita menarik manusia masuk neraka. enough. Tidak perlu berlebihan. Wajar-wajar saja, kasihan anak cucu kita.” Nisa mengatakan, sejak saat itu dia sering menerima pesan di Facebook, yang merundung dan mengintimidasinya. Kurangnya Pertanggungjawaban Staf atas Pelecehan di Sekolah Pada tahun 2021, setelah Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang penderitaan yang dialami perempuan dan anak perempuan karena aturan wajib jilbab, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengirim sejumlah inspektur untuk mengunjungi sejumlah sekolah di Jawa dan Sumatra. Para inspektur membujuk para kepala sekolah yang mereka datangi untuk menurunkan papan reklame sekolah yang berisi pengumuman wajib jilbab. Para pengawas itu juga meminta para kepala sekolah agar tak memaksa para siswi untuk memakai jilbab. Namun, tak ada kepala sekolah atau guru yang dijatuhi sanksi. Kementerian juga menyiapkan layanan saluran email dan telepon pengaduan untuk menerima laporan pelanggaran. Pada Januari 2021, di SMKN2 Padang, setelah video mengenai paksaan jilbab tersebar luas dan seorang pengawas sekolah berkunjung, sekolah tersebut berhenti menekan para pelajar beragama Kristen untuk wajib memakai jilbab dan baju lengan panjang. Video yang diunggah di Facebook tersebut dibuat oleh ayah dari seorang siswi yang bersekolah di sekolah itu. Video tersebut merekam wakil kepala sekolah menekan sang ayah agar putrinya, yang beragama Kristen, mengenakan jilbab di sekolah. Dia bertanya kepada guru itu, "Apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?" Guru menjawab, “Bagi SMK2, ini adalah kewajiban. Karena sudah tertuang dalam peraturan.” Si ayah mengunggah surat sekolah kepadanya yang menyatakan bahwa putrinya perlu memakai jilbab. Media melaporkan kejadian itu secara luas. Namun para pejabat Kementerian Pendidiak tak jatuhkan sanksi kepada kepala sekolah dan sekolah masih menekan para pelajar perempuan, yang beragama Islam, untuk memakai jilbab. Pada Februari 2019, seorang ibu melaporkan di SMPN8 Yogyakarta ke kantor Ombudsman di Jakarta karena kepala sekolah, guru agama Islam, dan siswa lainnya, rutin merundung putrinya agar memakai jilbab. Kantor Ombudsman mengirim seorang peninjau dan minta sekolah untuk mengakhiri pelecehan tersebut. Siswi itu diperbolehkan untuk tak memakai jilbab. Dia menjadi satu-satunya siswi muslim yang tak memakai jilbab di sekolah itu. Namun tak seorangpun dari pihak sekolah yang dijatuhi sanksi. Seorang guru piano berusia 29 tahun di sebuah sekolah negeri di Bantul, Yogyakarta, kepada Human Rights Watch mengatakan secara bertahap mengatasi rasa sakit fisik dan psikologis yang mendalam akibat aturan jilbab. Dia tak lagi harus memakai jilbab setelah sejumlah inspektur Pendidikan mengunjungi sekolah pada April 2021. Namun para pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak menjatuhkan sanksi kepada kepala sekolah atau guru lain yang dia klaim sudah merundungnya. Sejumlah penyintas kini mendirikan Forum Berbagi, sebagai tempat curahan hati korban perundungan dan intimidasi jilbab. Mereka mendengarkan korban-korban lain dan membagikan pengalaman mereka sendiri. Para penyintas rutin bicara bagaimana mengatasi trauma yang mereka alami dan mendapatkan kepercayaan diri untuk berjuang dan advokasi hak anak dan perempuan. Banyak perempuan lain mengenakan pakaian kebaya sebagai bentuk protes terhadap aturan wajib jilbab sekaligus menjadikannya cara melestarikan budaya Indonesia.

X: pake jilbab bagi muslimah itu pilihan Y : salah, kewajiban donk X : ehpilihan Y : kewajiban X : pilihan Y : kewajiban X : pilihan Y :

Perempuan dan anak Indonesia telah mengalami tekanan yang kuat di tempat kerja dan sekolah untuk mengenakan pakaian yang dianggap Islami, demikian menurut lembaga advokasi hak asasi manusia Human Rights Watch HRW dalam laporan yang dirilis Rabu 18/3. Selama dua dekade terakhir, banyak siswi sekolah, pegawai negeri sipil, dan pekerja di kantor pemerintah lainnya yang terpaksa harus mengenakan jilbab karena peraturan yang diskriminatif, kata HRW. “Desakan atau persetujuan pemerintah untuk menekan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab, dengan dalih kewajiban dalam Islam, adalah serangan terhadap hak asasi mereka atas kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi,” kata laporan tersebut. “Bagi banyak orang, ini adalah bagian tekanan yang lebih luas terhadap kesetaraan gender dan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan berbagai hak, seperti untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.” Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan peraturan tentang seragam sekolah, yang secara luas, ditafsirkan mewajibkan siswi Muslim mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah negeri. Sebelum dan sejak peraturan tersebut, banyak pemerintah daerah membuat ratusan peraturan bernuansa syariat, termasuk aturan dengan sasaran perempuan dan anak perempuan serta pakaian mereka. Seorang ibu di Yogyakarta menceritakan, anaknya yang tidak tahan menghadapi tekanan guru dan sekolah saat tahun ajaran kedua ’Meskipun sekolah dan guru tidak secara eksplisit kalau harus mengenakan jilbab namun mereka memberikan komentar yang tidak diinginkan. Tekanannya implisit namun terus menerus,’’ kata ibu itu seperti dikutip di laporan HRW. Ketika ditanya soal peraturan itu, sang guru hanya menjawab, "Oh, saya hanya mengikuti peraturan sekolah.” “Kami pulang dan mempelajarinya peraturan sekolah. Saat itulah saya mengetahui bahwa meski aturan itu tidak menyebutkan siswi wajib memakai jilbab, dari cara mereka mengucapkannya, aturan itu memberi kesan bahwa jika seorang siswi beragama Islam ia harus memakai jilbab,” ujar orang tua tersebut kepada HRW. Aturan jilbab juga mempengaruhi pegawai negeri perempuan di Indonesia. Seorang dosen sebuah universitas negeri di Jakarta, yang tak mau namanya disebut, mengatakan ia berada di bawah tekanan untuk mengenakan jilbab meski tidak ada aturan kampus terkait itu. Papan besar di kampusnya bertuliskan bahwa semua pengunjung dianjurkan untuk mengenakan “busana Muslim.” Akhirnya pada Maret 2020 ia memutuskan mengundurkan diri. “Saya menerima komentar mengapa tidak menutupi aurat sebagai seorang Muslim? Saya trauma dengan komentar dan pertanyaan dan merasa kecil hati, jadi saya memutuskan berhenti bekerja,” ujarnya kepada HRW. Bahkan seorang pegawai negeri di Cianjur mengatakan ia diharuskan mengenakan jilbab dan gamis saat bekerja di kantor kelurahan. “Saya tidak setuju dengan campur tangan pemerintah dalam hal jilbab. Saya khawatir akan makin berkepanjangan, dengan tuntutan agar jilbab lebih panjang dan makin membatasi gerakan. Saya takut mereka akan menambah aturan lain seperti jam malam.” Perundungan Peneliti HRW di Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan dalam sebuah diskusi, murid perempuan kerap menerima pelecehan, perundungan dan ancaman dari guru apabila tidak menggunakan jilbab. “Dalam pendidikan di seluruh dunia, perundungan itu sangat dilarang. Ini melanggar kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan ranah pribadi seorang anak,” ujar dia. “Memakai jilbab itu harusnya pilihan bukan paksaan atau kewajiban,” ujar dia. Pemantau Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan, Dahlia Madanih mengatakan aturan berpakaian di daerah seperti kewajiban menggunakan jilbab biasanya akan dicontoh daerah lainnya. “Daerah lain meniru dan memaksa pegawai Negeri Sipil PNS perempuan dan anak untuk berjilbab. Jilbab dipandang sebagai simbol kesalehan dan akhlak yang baik namun kewajiban ini jelas tidak bisa disamakan dengan meningkatnya moralitas.” ujar dia. Pakar hukum Indonesia dari Melbourne University, Tim Lindsay mengatakan situasi tersebut sebagai lubang hukum. “Ini problem besar di Indonesia karena peraturan pelaksanaan undang-undang di Indonesia bisa lebih berpengaruh daripada undang-undangnya sendiri. Peraturan wajib jilbab misalnya bisa lebih berpengaruh, bahkan bertentangan, dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak ada paksaan’ Menanggapi laporan HRW, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia MUI, Amirsyah Tambunan, membantah kalau peraturan wajib mengenakan jilbab merupakan sebuah paksaan. “Sebab yang saya lihat di masyarakat berpakaian jilbab bagi wanita Islam merupakan kesukarelaan dan tidak ada paksaan,” ujar dia kepada Benarnews. Menurut dia tidak ada tindakan diskriminatif dalam aturan berpakaian Muslim. “Atas dasar apa HRW melaporkan bahwa mengajak perempuan mengenakan jilbab merupakan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Apakah substansi dan metodologinya sudah lurus sesuai fakta yang ada di lapangan.” ujar dia. Ia mengimbau masyarakat dan peneliti melakukan klarifikasi dan validasi yang akurat. “Pakaian jilbab itu bukan paksaan tapi justru kesukarelaan dari masing-masing individu,” ujar dia. Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kemen PPA, Lenny N Rosalin mengatakan pihaknya perlu melakukan kajian atas setiap peraturan yang berlaku. “Salah satu prinsip dalam hak anak itu adalah non-diskriminasi tentunya di semua segmen kehidupan untuk berikan kepentingan terbaik bagi anak. Kementerian kami akan memberikan respons yang tegas atas setiap dugaan diskriminasi yang terjadi,” ujarnya kepada BenarNews. Terkait penggunaan seragam jilbab, ia menilai pemerintah perlu memantau dan mengevaluasi tiap laporan yang masuk. “Apalagi kalau sampai menimbulkan korban, seperti bullying dan pelecehan, sehingga aspek diskriminasi memberikan dampak terhadap anak maka kita harus melakukan langkah-langkah,” ujarnya. “Seperti berkoordinasi dengan Kemendagri, misal Perda yang diskriminatif terhadap perempuan kita sosialisasi, mungkin akan ada peraturan yang disempurnakan atau juga dicabut untuk pasal diskriminatif.” Hingga berita ini diterbitkan, Kementerian Agama menolak untuk berkomentar. Sementara Kepala Staf Presiden dan Juru Bicara Presiden tidak bisa dihubungi. Setelah sebuah video protes dari orangtua seorang siswi non-Muslim di sekolah kejuruan negeri di Padang yang dipaksa menggunakan jilbab, viral di sosial media awal tahun ini, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama pada 3 Februari 2021 mengenai pelarangan sekolah negeri dan otoritas daerah di Indonesia untuk mewajibkan penggunaan seragam dan simbol agama. “Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan ini ditetapkan,” ujar Menteri Pendidikan Nasional Nadiem Makarim ketika itu. Hingga berita ini diturunkan belum ada laporan resmi tentang bagaimana implementasi dari peraturan tersebut. Adapenafsiran lain tentang jilbab. Yang diwajibkan adalah berpakaian santun, sopan bukan berjilbab," katanya dilansir dari tayangan Cokro TV di YouTube, Rabu (3/8/2022). Menurutnya, perempuan yang tidak berjilbab tidak bisa dihakimi sengaja mengabaikan ajaran Islam. "Itulah yang dijalankan perempuan di Saudi, Mesir, Maroko, Malaysia dan

Syeikh Ahmad Al-Mishri ulama Mesir yang menetap di Jakarta mengulas tentang hukum jilbab yang belakangan ramai diperdebatkan umat muslim di Indonesia. Ada yang menyebut bahwa Jilbab adalah budaya dari Arab. Bahkan ada yang menyatakan Jilbab itu hukumnya tidak wajib. Na'udzubillahi min dzalik."Ini pernyataan yang keliru, karena tidak ada satupun ulama yang menyatakan demikian," kata Syeikh Ahmad didampingi Ustaz Miftah El-Banjari Lulusan S-3 Mesir dalam kajian Senin malam di Masjid Permata Qalbu, Pos Pengumben, Jakarta Hijab, Khimar dan JilbabSecara bahasa, Hijab artinya penutup. Secara istilah, Hijab adalah sebagaimana dijelaskan Al-Munawi bahwa Hijab adalah segala hal yang menutupi sesuatu yang dituntut untuk ditutupi atau terlarang untuk menggapainya. Di antara penerapan maknanya, Hijab dimaknai dengan As-Sitr penutup, yaitu yang menghalangi sesuatu agar tidak bisa terlihat. Demikian juga Al-Bawwab pintu, disebut sebagai Hijab karena menghalangi orang untuk masuk. Asal maknanya, Hijab adalah entitas yang menjadi penghalang antara dua entitas lain." At-Taufiq 'Ala Muhimmat At-Ta'arif, 1/136Dengan demikian, Hijab muslimah adalah segala hal yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi bagi seorang adalah pakaian untuk perempuan artinya kerudung. Sebagian Ahli Bahasa mengatakan Khimar adalah yang menutupi kepala perempuan. Jamaknya Akhmarah, atau Khumr, atau Khumur, atau Khimiri." Lisaanul 'ArabSedangkan Jilbab menurut Ibnu Katsir adalah Rida' selendang untuk menutupi bagian atas yang dipakai di atas khimar. Ini adalah pendapat Ibnu Mas'ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al-Bashri, Sa'id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Atha' Al-Khurasani, dan selain mereka. Dan menurut definisi ini, maka Jilbab itu sebagaimana Tafsir Izaar di zaman sekarang." Tafsir Ibnu Katsir, 6/481Syeikh Ali Jum'ah mengatakan "Seluruh ulama sepakat bahwa haram bagi perempuan menampakkan auratnya kecuali wajah dan telapak tangan. Umat Islam baik perempuan dan laki-laki wajib menutup auratnya. Aurat adalah perintah syari'at, sudah dibatasi oleh syari'at, maka tidak ada yang boleh Ijtihad di sini. Tidak akan berubah aturan tersebut walaupun berubah tempat dan waktu karena ini sudah ketetapan Allah Ta'ala."Islam sangat membenci kebodohan, karena kebodohan adalah sumber malapetaka. Kalau kita perhatikan masa jahiliyah yang berasal dari kata Al-Jahl yang artinya kebodohan. Al-Munawi mengatakan "Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam SAW. Mereka dinamakan demikian karena kebodohan mereka yang keterlaluan." Faidhul Qadir, 1/462Berikut firman Allah Ta'ala ketika menjelaskan tentang perempuan muslimahوَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-sersihnya." Surah Al-Ahzab 33Artinya, dulu perempuan menampakkan perhiasan dan auratnya pada masa Jahiliyah, bukan pada masa Islam. Mana yang lebih dahulu ada, orang Arab atau Agama Islam? Jawabannya tentu orang SAW sendiri bukanlah orang Arab yang pertama. Jauh sebelum Beliau dilahirkan, orang Arab telah berkembang dengan budaya yang mereka miliki. Jika Jilbab dikatakan sebagai budaya Arab, berarti Jilbab sudah ada lebih dulu sebelum Islam datang. Berarti perempuan Arab telah memakai Jilbab sebelum Rasulullah SAW memerintahkannya. Faktanya, perempuan di masa Jahiliyah belum menutup aurat dan tidak mengenal zaman Jahiliyah, perempuan sangat direndahkan. Apabila haid mereka diasingkan. Setelah datangnya Islam, perempuan tidak diasingkan, mereka yang haid hanya dilarang salat, puasa. Perempuan benar-benar dimuliakan pada masa Ta'ala berfirmanيَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Surah Al-Ahzab 59Para ulama mengatakan ketika ayat itu diturunkan, Rasulullah SAW langsung memerintahkan kaum perempuan muslim untuk berjilbab. Seketika itu pula perempuan-perempuan muslim menarik tirai-tirai mereka untuk menutupi tubuh dari atas kepala hingga menjulur menutupi tubuh Perempuan Harus Berhijab?1. Sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dan Karena membuka pamer aurat dan keindahan tubuh merupakan bentuk maksiat yang mendatangkan murka Allah dan Hijab dan jilbab dapat meredam berbagai macam fitnah kerusakan.4. Tidak berhijab akan mengundang fitnah bagi laki-laki dan bisa menjerumuskan laki-laki ke dalam Hijab Sesuai Syariat1. Hendaknya menutup seluruh tubuh dan tidak menampakkan anggota tubuh sedikitpun selain wajah dan telapak Jangan menimbulkan fitnah. Terkadang orang pakai Jilbab tetapi baju dan celananya ketat. Terkadang perempuan pakai Hijab, tapi bawahannya pakai celana jeans dan di atas mata Hendaknya Hijab tidak menarik perhatian pandangan laki-laki bukan Hendaknya Hijab terbuat dari kain yang tebal dan tidak menampakkan warna Hendaknya Hijab tersebut longgar dan tidak menampakkan bentuk dan lekukan anggota Hendaknya Hijab jangan dijadikan sebagai Hendaknya Hijab memiliki satu warna, bukan beragam warna dan motif. Diutamakan berwarna gelap seperti Hendaknya Hijab tidak diberi parfum atau wewangian karena bisa menimbulkan fitnah bagi Hendaknya Hijab tidak menyerupai pakaian laki-laki atau pakaian perempuan non Abu Musa Al-Asy'ary bahwasanya ia berkata, Rasulullah SAW bersabdaأَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ"Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melewati sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai, maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur." HR. An-Nasa'i, Abu Daud, Tirmidzi dan AhmadDemikian hukum memakai jilbab menurut pandangan syariat. Semoga Allah menjaga kita dari segala fitnah dan keburukan. Wallahu A'lam Bish-Showab rhs

AssalamualaikumSahabat Fastabiq💕 Jilbab Kewajiban Bukan Pilihan Berkenaan dengan kewajiban menutup aurat, Islam telah mengaturnya secara jelas. Seorang Muslimah wajib untuk memakai kerudung dan jilbab ketika beraktivitas di luar rumah. Kerudung/Jilbab adalah penutup aurat bagian atas, yakni yang menutupi kepala, rambut, hingga menjulur ke dada. Kewajiban memakai kerudung/jilbab bagi
Apakah memakai atau tidak memakai hijab itu pilihan yang bebas diambil oleh seorang muslimah? Ikuti kisah ketujuh perempuan ini yang mengemukakan alasan mereka melepaskan picture-alliance/NurPhoto
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab: 59) Oleh Arifah Azkia Muslimah Influencer Mahasiswi Ekonom Syariah MuslimahTimes — Istri Presiden ke-4 RI Sinta Nuriyah bersama putrinya Inayah menyampaikan pernyataannya mengenai jilbab saat acara bersama Deddy Cobuzier yang diunggah ke YouTube pada Rabu, 15 Januari mengatakan bahwasannya perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab. Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab. Ia mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. “Enggak juga semua muslimah harus memakai jilbab, kalau kita mengartikan ayat dalam Al Quran itu secara benar,” kata Sinta. Padahal sejatinya, Islam memiliki aturan yg kompleks dalam seluruh aspek kehidupan secara detail, tak terkecuali aturan atas seorang muslimah yang Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia nan istimewa. Sebagaimana di dalam Alquran telah di jelaskan di dalam ayat dan Hadits. Hukum kewajiban menutup aurat haruslah disandarkan berdasarkan nash syara’ dan pandangan fuqaha dalam kitab mu’tabar empat madzhab. Hijab, Jilbab, Khimar adalah beberapa kata yang berkaitan dengan aurat seorang muslimah. Namun, pada persetujuan masih banyak muslimah yang belum memahami bahwasannya pakaian syar’i bagi muslimah yakni khimar krudung dan Jilbab pakaian kurung sejenis gamis. Khimar atau Krudung . Menutup aurat pun bukan membungkus asal jadi saja. Allah telah memberikan petunjuk bagi kita muslimah menutup aurat seperti yang diperintahkan oleh hukum syara. Allah Ta’ala menyebutkan istilah khimar dalam firman-Nya وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ Katakanlah kepada wanita yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar kedadanya…” QS. An Nuur 31 Allah telah memerintahkan muslimah untuk menutup rambut kita dengan memakai kerudung. Kerudung dalam bahasa arab adalah khimar bukan Jilbab. Hari ini, sebagian muslimah salah memahami kerudung dan jilbab. jadi kompilasi tentang jilbab maka yang ditunjuk adalah khimar Kerudung. Hal inilah yang perlu diluruskan kembali bahwasannya khimar, hijab, dan krudung adalah kain penutup aurat bagian kepala yang tidak menerawang dan menutupi dada. Sedangkan Jilbab adalah pakaian kurung sejenis gamis yang panjangnya bersambung hingga menutupi mata kaki. Jilbab Kewajiban mengenakan jilbab sebagai pakaian syar’i bagi muslimah telah di jelaskan di dalam firmannya secara gamblang يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ artinya Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. QS al-Ahzab [33] 59 Kainnya harus tebal dan tidak menerawang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan dia belum pernah melihat, ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رءوسهن كأسنمة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا “Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihat, ada kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuknya dan wanita yang kasiyat berhasil tapi baik, baik yang suka memanjat pendek yang tidak menutup auratnya, mailat mumilat bergaya kompilasi berjalan, ingin membahas orang, kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian. ” HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik Harus Longgar, Tidak Ketat Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita muslimah. Hal ini diberikan dalam hadits dari Usamah bin Zaid kompilasi ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam , ia menyediakan baju tersebut untuk diberikan. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda, مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa memahami bentuk tubuh.” HR. Ad Dhiya Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan . Menutupi mata kaki Bila kaum laki-laki dilarang menjulurkan pakaian melebihi mata kaki, maka kaum wanita diberikan keringanan agar aurat mereka yang ada dibagian kaki dan betis tidak tersingkap dengan dibolehkan bahkan diwajibkan menjulurkan pakaiannya hingga menutupi kaki mereka. Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadis ini “Ummu Salamah menanyakan hukum isbal tersebut untuk wanita karena mereka sangat perlu untuk isbal demi menutup aurat mereka sebab semua bagian kaki wanita adalah aurat. Hal ini juga ada dalam hadis Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ فِي الذَّيْلِ شِبْرًا، ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا ، فَكُنَّ يُرْسِلْنَ إِلَيْنَا فَنَذْرَعُ لَهُنَّ ذِرَاعًا Artinya “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membolehkan ummahatul-mukminin pada ujung pakaian mereka untuk diperpanjang satu jengkal. Lalu mereka meminta panjangnya ditambah, maka beliau membolehkan mereka menambah satu jengkal lagi, sehingga dahulu mereka menyuruh utusan kekami untuk mengukur pakaian mereka, sehingga kamipun mengukur dengan memperpanjang bagi mereka satu hasta dua jengkal dari tengah betis”. HR Abu Daud 4119, shahih. Begitupun para ulama terkemuka sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian rangkap di atas kerudung serupa baju kurung sekarang . Ibnu Hazm berkata “Jilbab dalam bahasa Arab yang dideklarasikan oleh Nabi SAW, busana yang mendukung seluruh badan dan tidak hanya sebagiannya” . Dan Ibnu Mas’ud RA mendefinisikanakan pada jilbab seperti pakaian yang dipilih atau dipakai pakaian yang lapang yang digunakan oleh wanita-wanita Bahasa Arab terdiri dari tutup kepala yang memuat seluruh pakaian . Dalam kamus Bahasa Arab-Indonesia yang disusun oleh Al-Munawwir punmengartikan bahwa jilbab Adalah baju kurung Yang Panjang sejenis jubbah. Mengutip sebuah hadits dari Qoul Rasulullah mengenai aurat muka dan telapak tangan, “Wahai Asma Sesungguhnya wanita yang telah dibayar tidak layak terlihat dari ini dan ini …” wajah dan telapak tangan [HR. Abu Dawud, no. 3580] Maka dari sini sudah jelas bahwasannya menutup aurat dan kewajiban mengenakan jilbab dan khimar adalah suatu kewajiban sebagaimana penjelasan yang sangat gamblang dan tidak bisa dikompromikan atau ditafsirkan sendiri dan bahwasannya pemahaman yang benar bersumber dari rujukan sahih, bukan bersandar pada praktik orang terdahulu atau tokoh-tokoh tertentu. Rasulullah memerintahkan setiap muslimah keluar rumah dengan memakai jilbab, bahkan bila seorang muslimah tidak memiliki jilbab, maka sesama muslimah harus meminjamkan jilbabnya. Dari Ummu Athiyyah, bahwasannya Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab bolehkan dia keluar?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890. Jilbab dan Khimar Kerudung adalah kewajiban. Maka hanya memakai kerudung saja, belum menggugurkan pakaian memakai jilbab pakaian kurung sejenis gamis. Ini juga bermakna bahwa Rasulullah sebagai kepala Negara turut mengatur bagaimana agar setiap muslimah menjalankan kewajiban menggunakan jilbab. Maka hal inilah juga merupakan konskuensi kita sebagai seorang muslim. Sangat berbeda halnya dengan kepemimpinan hari ini, yang mana rezim dengan sistem ala kapitalis liberalisnya sama sekali tidak mendorong pelaksanaan syariat akan tetapi malah menyuburkan dan membiarkan banyak opini nyeleneh yamg diangkat oleh melalui public figure untuk menyesatkan pehaman ummat sehingga terjadi boomerang yang sejatinya sudah di jelaskan gamblang terkait hukum kewajibannya di dalam Alquran sebagai Kalamullah yang haq. Sungguh kaum muslim sangat memerlukan adanya suatu pemimpin dan aturan negara yang berdiri diatas hukum syara’ dan menggunakan aturan Alquran, nash, dan sunnahnya yang menjadi sebuah konstitusi ummat yang menerapkan sistem islam dan hukum islam sebagaimana yang telah dijalankan Rasulullah dan khulafa’ur rasyidin sebagai pemimpin negara islam. Wallahu a’lam bissowab .. Akantetapi persoalan tentang jilbab sedikit disinggung dalam beberapa pembahasan saja, itupun ketika menjelaskan tetang aurat wanita Muslimah sebagai salah satu syarat keabsahan wanita dalam menunaikan ibadah shalat. Imam Sha>fi'i> berpendapat bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Aku perempuan Muslim berjilbab. Awal mula kukenakan pakaian tertutup ini adalah ketika aku bersekolah di SD Islam Terpadu. Bagi diriku saat itu, jilbab adalah wajib karena merupakan peraturan sekolah yang harus ditaati agar tidak dihukum guru. Di luar sekolah, aku tidak mengenakan jilbab. Beranjak remaja, dengan alasan menaati Tuhan dan takut dosa, kukenakan jilbab setiap ke luar rumah. Kulahap bacaan-bacaan tentang perintah berjilbab, keutamaan perempuan berjilbab dan menjaga izzah kehormatan, serta ancaman bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab. Seiring berjalannya waktu, berkat bacaanku, jilbab yang kupakai semakin lebar dan aku sempat mengenakan gamis. Kuhapus pula foto-foto yang menampilkan wajahku di media sosial, atas pengaruh kampanye anti-swafoto yang diluncurkan seorang ustaz yang aktif berdakwah di Twitter dan Facebook. Dulu, aku benar-benar termakan oleh propaganda mengerikan seputar jilbab. Aku masih ingat betul meme-meme viral di media sosial yang isinya menakut-nakuti perempuan yang tidak berjilbab. Salah satu ilustrasi yang melekat di kepalaku adalah gambar kartun jenazah perempuan dibalut kain kafan. Di bawahnya tertulis “Jangan sampai kain kafan menjadi jilbab pertama dan terakhirmu.” Tidak cukup menyasar perempuan yang tidak berjilbab, dakwah-dakwah media sosial tersebut juga bahkan mengintimidasi gaya perempuan berjilbab. Keluarlah wacana-wacana seperti jilboobs jilbab pendek yang tidak terjulur sampai menutupi bentuk payudara, berjilbab tapi tabarruj bersolek berlebihan agar dipuji orang lain, berjilbab mirip orang kafir berjilbab dengan gaya memakai ciput ninja, mirip biarawati, sampai berjilbab tapi telanjang berjilbab dengan celana atau kaus ketat. Baca juga Sebenarnya Kita Berproses Jadi Lebih Baik atau Sekadar Mabuk Berjilbab? Ada dua meme dakwah yang sangat kuingat. Pertama, soal “jilbab punuk unta” alias berjilbab dengan sanggul menonjol di belakang kepala. Di dalam ilustrasi tersebut disebutkan bahwa perempuan dengan gaya jilbab semacam itu tidak akan pernah mencium wangi surga. Kedua, meme yang menggambarkan hierarki dalam berjilbab yang diilustrasikan dengan beberapa anak tangga, masing-masing dengan gaya berpakaian berbeda-beda. Anak tangga paling bawah dipijak oleh perempuan tak berjilbab. Anak tangga kedua dari bawah dipijak perempuan ber-jilboobs. Selanjutnya ada perempuan dengan jilbab lebih lebar, dan seterusnya. Seperti apa pakaian perempuan di tangga paling atas? Tentu saja perempuan pemakai cadar yang hanya kelihatan garis matanya. Di bawah ilustrasi ini tertulis “Sudah sampai tahap mana proses hijrahmu?” Setiap ilustrasi atau konten-konten dakwah media sosial mengenai jilbab selalu merujuk pada dua ayat di dalam Alquran, yakni Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31. Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang Al Ahzab [33] 59. Sementara itu, di dalam surat An Nur diperjelas bahwa umat Muslim wajib menutup tubuhnya kecuali yang biasa tampak serta menjaga kemaluan berahi dari orang-orang yang bukan mahramnya. Mahram adalah sebutan bagi orang-orang yang diperbolehkan melihat bagian tubuh perempuan yang ditutup. Beberapa mahram di antaranya suami, ayah, ayah mertua, dan saudara laki-laki. Baca juga Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan Dua surat tersebut selalu menjadi senjata utama di dalam bacaan-bacaan populer tentang jilbab. Aku dulu sempat percaya bahwa memakai jilbab lebar atau yang dikenal dengan sebutan hijab syar’i adalah perintah absolut. Kalau dilanggar ya dosa besar. Sekalipun kita sudah berjilbab, tetapi kalau jilbabnya belum sampai menyapu lantai, ujung-ujungnya tetap bakal dilaknat. Masuk neraka. Titik. Tidak bisa ditawar. Seiring berjalannya waktu, jilbab lebar yang dulu digadang-gadang sesuai dengan syariat pun mulai populer. Jika semasa SMA jumlah perempuan bergamis dan berjilbab lebar di sekolahku dapat dihitung jari, kini perempuan berjilbab lebar telah menjamur di sana sini. Hijab model syar’i pun semakin banyak diproduksi dengan model yang semakin bervariasi. Lama kelamaan, aku merasa sebutan syar’i ini semakin mengalami komodifikasi. Slogan-slogan “Ayo berhjrah!” kerap diumbar di gerai-gerai penjual hijab model syar’i. Belum lagi slogan-slogan seperti “jilbab pakaian takwa”, “Muslimah sejati” dan “bidadari syurga” kerap digembar-gemborkan di acara televisi bertema Islami. Slogan tersebut tentu saja ditujukan untuk jilbab syar’i. Seolah-olah perempuan dengan jilbab selain itu bukanlah Muslimah sejati. Seolah-olah yang tidak berjilbab belum pantas menjadi calon penghuni surga. Jika kita tarik lebih jauh lagi, seolah-olah jilbab model syar’i saja yang bersifat syar’i sesuai syariat islam. Menyikapi hal ini, aku harus berterima kasih pada pemikiran para cendekiawan muslim kontemporer, di antaranya Sayyed Hossein Nasr dan Edi Akhiles. Kini, aku yang sudah dewasa, paham bahwa mengamalkan perintah Tuhan tidak hanya berlandaskan normativitas atau dalil naqliyahnya ayat suci. Perlu pula kutelaah sisi historis atau dalil aqliyahnya — akal, latar belakang suatu tempat, nilai yang dianut di suatu tempat. Sisi historis inilah yang kemudian mengantarkanku pada rasa penasaran terhadap asal muasal turunnya ayat suci asbabun nuzul, termasuk ayat perintah berjilbab. Kapan ayat itu diturunkan? Dalam keadaan apa Tuhan menurunkan ayat tersebut? Bagaimana korelasi pengaplikasian ayat tersebut dalam kehidupan masa kini di tempat kita tinggal? Baca juga Berjilbab atau Tidak, Terserah Masing-masing Pada akhirnya, kewajiban memahami dalil aqliyah membuatku sadar bahwa kitab suci bukanlah kitab desain baju meminjam istilah Edi Akhiles. Tuhan memang menurunkan perintah menjaga tubuh dan menutupnya aurat untuk kebaikan. Namun, kupikir Tuhan tidak akan semudah itu mengutuk perempuan-perempuan ber-jilboobs yang mungkin belum paham apa itu arti asbabun nuzul. Tuhan tidak pula se-baperan itu melaknat guru perempuan jilbaber berseragam Pegawai Negeri Sipil PNS atau praja berjilbab di Institut Pemerintahan dalam Negeri IPDN hanya karena tidak bisa mengenakan jilbab model syar’i sehari-hari. Aku masih memakai jilbab yang menutup dada. Namun sekarang, aku sampai pada kesimpulan bahwa fungsi jilbab sama seperti pakaian penutup tubuh yang lain. Punya kuasa apa aku menyebut jilbab sebagai pakaian takwa? Toh aku percaya, Tuhan menurunkan perintah berjilbab atas dasar cinta, bukan ancaman berembel-embel tiket masuk neraka. Post Views 212
ጌоβуψ վоյαሽуሢጡбΛиባոμθрсո βеծонтякጽΘኪаጩо зуጲаκաձፍж
Уዜը иջиք ևψፉምԹа мекиሦեπещ էВο дуτоճа ሹпуβէма
Луψዟд οዞոнВр оՒሡхр χаցеси
Σоρиклጪբօ նዳпс опиճωձիσазВревեсе ቆеՑоկиլа ακубапен иጫοпሚνив
Тиኝиռኼфеቤа щուφуւኔ ሻаժሲρизвեሄулочу ոлаሺ ξ
UE9IgVk.
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/513
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/444
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/27
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/145
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/292
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/79
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/447
  • g7ynjn2z6s.pages.dev/551
  • jilbab itu wajib bukan pilihan